Anggota Komisi XII DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB), Ratna Juwita Sari menyoroti lambannya penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang telah disahkan dan diundangkan sejak 19 Maret 2025.
Memasuki bulan Oktober 2025, menurutnya, regulasi turunan tersebut (PP Minerba) belum juga diterbitkan pemerintah. Padahal, dalam Pasal 174 ayat (1) UU Minerba disebutkan, seluruh peraturan pelaksana harus ditetapkan paling lama enam bulan sejak UU tersebut diundangkan. Atau selambat-lambatnya September 2025.
“Keterlambatan ini bukan sekadar urusan administratif, tetapi telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha di sektor pertambangan dan menahan potensi penerimaan negara,” ucap Ratna di Jakarta, Minggu (5/10/2025).
Ratna menyebut UU Minerba 2025 sudah memberi arah jelas untuk menciptakan tata kelola pertambangan yang berkeadilan, transparan, dan berpihak pada kepentingan nasional. Namun tanpa PP pelaksana, seluruh amanat dalam Pasal 17 tentang penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) tidak bisa dijalankan secara efektif.
Lebih lanjut, ia menegaskan tanpa kejelasan teknis mengenai mekanisme WIUP, pembagian kewenangan pusat-daerah, serta prioritas pemberian izin bagi koperasi, UMKM, badan usaha milik daerah, dan ormas keagamaan sebagaimana diatur dalam UU, pelaksanaan kebijakan minerba berpotensi tersendat.
“Investor menunda ekspansi, pemerintah daerah kebingungan mengambil langkah, dan masyarakat lokal kembali menjadi korban ketidakpastian kebijakan. Ini situasi yang tidak boleh dibiarkan terlalu lama,” tegasnya.
Keterlambatan penerbitan PP juga berdampak langsung terhadap daerah penghasil tambang. Pemerintah daerah kehilangan dasar hukum untuk menata wilayah pertambangan rakyat, sementara pelaku usaha kecil tidak dapat mengakses izin yang seharusnya terbuka bagi mereka.
Selain itu, aspek lingkungan dan keselamatan tambang pun ikut terdampak. Tanpa pedoman teknis yang jelas, pengawasan terhadap kegiatan pertambangan berisiko lemah, padahal UU Minerba 2025 menuntut penguatan tata kelola lingkungan dan kewajiban reklamasi pasca tambang.
“Semangat pembaruan UU Minerba akan kehilangan makna bila tidak segera diikuti dengan regulasi pelaksana yang konkret. Pemerintah perlu bergerak cepat agar prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan sumber daya alam dapat diwujudkan di lapangan,” ucap dia.
Sebagai bagian dari fungsi pengawasan, DPR RI akan mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Hukum untuk segera menuntaskan penyusunan PP pelaksana UU Minerba.
Lambannya penerbitan PP pelaksana UU Minerba Nomor 2 Tahun 2025 menunjukkan perlunya penguatan koordinasi dan komitmen pemerintah dalam menjalankan amanat undang-undang. Tanpa kepastian hukum, potensi sektor minerba tidak akan mampu menjadi pendorong pembangunan nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan.
“Negara hukum tidak boleh berhenti pada teks UU. Regulasi harus hidup dalam tindakan dan memberi manfaat nyata bagi rakyat. Karena itu, pemerintah wajib segera menuntaskan PP Minerba demi menjamin kepastian hukum, iklim investasi, dan keadilan sosial,” pungkasnya.