Tembaga Diramal Tembus US$11 Ribu Saat RI Larang Ekspor Freeport

Analis komoditas memprediksi harga tembaga global akan terkerek naik hingga ke level US$11.000/ton dalam beberapa bulan ke depan, seiring dengan izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia (PTFI) yang berakhir pada pertengahan September 2025.

Founder Traderindo Wahyu Laksono menjelaskan saat ini harga tembaga global tengah dalam tren kenaikan hingga berada di sekitar US$9.682/ton. Terdapat pola konsolidasi yang t

erbentuk di kisaran US$9.200—US$10.000 per ton sejak April 2024.

Walhasil, kondisi pasokan yang ketat dan potensi penghentian ekspor konsentrat tembaga Indonesia dari Freeport akan menjadi sentimen utama bagi pasar logam merah itu hingga menyebabkan harga global dengan mudah melampaui US$10.000/ton.

Apalagi, permintaan tembaga global diprediksi tetap tinggi seiring dengan pertumbuhan kebutuhan untuk sektor transisi energi.

“Sentimen pasar sangat didukung oleh berita shortage pasokan konsentrat dan potensi penghentian ekspor Freeport Indonesia. Ini akan menjadi katalis utama untuk kenaikan harga [tembaga],” kata Wahyu ketika dihubungi, dikutip Kamis (21/8/2025).

Dalam kaitan itu, Wahyu memprediksi harga tembaga global dapat menuju US$10.500—US$11.500 per ton dalam beberapa bulan mendatang.

Bahkan, harga tembaga global bisa mendekati level US$12.000/ton jika terjadi krisis pasokan konsentrat dalam jangka panjang dan smelter tembaga global mengurangi produksinya.

“Fundamental pasokan—khususnya konsentrat — dan permintaan yang kuat mendukung kenaikan harga lebih lanjut. Berita mengenai Freeport ini akan menambah dorongan ke atas pada harga tembaga global,” Wahyu menegaskan.

Margin Smelter

Lebih lanjut, Wahyu memprediksi penghentian ekspor konsentrat tembaga oleh Freeport Indonesia mulai bulan depan akan memengaruhi pasokan tembaga global yang tengah ketat.

Dia menilai smelter tembaga di China yang selama ini bergantung pada pasokan PTFI akan kesulitan mencari alternatif pasokan.

“Kekurangan konsentrat berarti smelter akan mengurangi produksi katoda tembaga, atau biaya produksi mereka akan meningkat karena harga konsentrat yang lebih tinggi,” terang Wahyu.

Dengan begitu, dia memandang smelter tembaga global—terutama di China — akan menghadapi kondisi margin keuntungan yang lebih ketat.

Bahkan, menurutnya, smelter di China bisa merugi karena harga konsentrat yang lebih tinggi dan volume pengolahan yang lebih rendah.

“Beberapa smelter mungkin terpaksa mengurangi kapasitas atau bahkan menghentikan operasi sementara jika pasokan konsentrat tidak memadai,” kata dia.

Adapun, realisasi ekspor konsentrat tembaga Freeport hingga pertengahan Agustus 2025 sekitar 65% dari kuota izin ekspor sebesar 1,4 juta ton basah atau wet metric ton (wmt) atau sekitar 0,91 juta wmt.

Sementara itu, smelter katoda milik Freeport di Manyar, saat ini baru mencapai sekitar 60% dari kapasitas produksi maksimum.

“Hingga pertengahan Agustus 2025 realisasi ekspor sudah mencapai sekitar 65% dari kuota izin ekspor,” kata Vice President (VP) Corporate Communications PT Freeport Indonesia Katri Krisnati kepada Bloomberg Technoz, Rabu (20/8/2025).

Sekadar catatan, Freeport diizinkan untuk melanjutkan ekspor konsentrat tembaga pada 2025, setelah perseroan menghadapi keadaan kahar akibat smelter katodanya di Manyar, Gresik, Jawa Timur terbakar pada 14 Oktober 2024.

Izin ekspor konsentrat tembaga Freeport diberikan selama enam bulan yakni sejak 17 Maret 2025 hingga 16 September 2025, atau tersisa kurang dari satu bulan lagi.

Dalam kaitan itu, Katri memastikan smelter katoda milik Freeport telah beroperasi kembali sejak akhir Mei 2025. Dia mengklaim fasilitas tersebut telah menghasilkan katoda tembaga pada pekan ketiga Juli 2025.

“Saat ini rata-rata ramp up di tingkat 60%,” tegas dia.

Katri juga memastikan korporasi menjual bijih tembaga sesuai dengan harga yang berlaku di praktik internasional. Hal tersebut sekaligus merespons kabar terdapat ekspor konsentrat tembaga yang lebih besar dengan harga di bawah pasaran menuju China yang dilakukan Freeport.

“Terkait dengan harga, baik penjualan di dalam dan luar negeri, semua transaksi merujuk pada praktik internasional,” tegas Katri.

Adapun, tembaga dilego di harga US$9.720/ton pagi ini di London Metal Exchange (LME) atau naik 0,29% secara harian.

Menurut kajian BMI, lengan riset Fitch Solutions dari Fitch Group, prospek produksi untuk komoditas logam penting ini diramal masih akan tumbuh kuat hingga 2034.

Ekspansi baru tambang tembaga di berbagai negara mulai kembali bermunculan, didukung oleh harga yang mencapai rekor historis serta prospek permintaan yang masih cerah.

“Kami memperkirakan produksi tambang tembaga global akan meningkat dengan tingkat tahunan rata-rata 2,9% selama periode 2025-2034, dengan output tahunan meningkat dari 23,8 juta pada 2025 menjadi 30,9 juta pada 2034,” papar tim riset BMI dalam laporannya.

Untuk 2025 saja, produksi tambang tembaga dunia diestimasikan meningkat 2,5% secara year on year (yoy), ditopang oleh pemulihan produksi di Cile dan peningkatan produksi di tambang Oyu Tolgoi, Mongolia.

Peru, Rusia, dan Zambia juga akan tetap menjadi kontributor utama pasokan tembaga global. Akan tetapi, produksi dari Indonesia, Kanada, dan Kazakhstan ditaksir akan mengalami penurunan, meski tidak dijelaskan seberapa signifikan penurunan tersebut. (azr/wdh)

Sumber:

– 21/08/2025

Temukan Informasi Terkini

Berita Harian, Jumat, 22 Agustus 2025

baca selengkapnya

Laba Bersih Freeport (PTFI) Tergerus 18,4% pada Semester I-2025

baca selengkapnya

Harga Batu bara Akhirnya Jatuh, Kebijakan China Mulai Diragukan

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top