Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat meminta penjelasan terkait volatilitas saham PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO). Itu sebagaimana diketahui dari keterbukaan informasi ADRO dalam menjawab pertanyaan BEI yang diunggah pada 29 Agustus 2025.
Salah satu pertanyaan BEI terkait tencana pemegang saham utama alias pengendali Alamtri Resources Indonesia terkait dengan kepemilikan sahamnya di perseroan. Menjawab hal itu, Sekretaris Perusahaan ADRO, Maharani Cindy Opssedha mengungkapkan, pemegang saham utama perseroan meyakini prospek usaha perseroan.
“Sehingga rencana pemegang saham utama perseroan terkait dengan kepemilikan sahamnya di perseroan adalah untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka panjang,” sebut Maharani dikutip Senin (8/9/2025).
Akan tetapi, lanjutnya, sampai dengan tanggal suratnya, ADRO tidak memiliki rencana untuk melakukan tindakan korporasi dalam waktu dekat yang akan berakibat terhadap pencatatan saham perseroan di BEI.
Saham Alamtri Resources Indonesia (ADRO) pada perdagangan Kamis (4/9/2025) ditutup menguat 1,73% ke Rp 1.760. Tapi dalam sebulan terakhir, saham berkode ADRO masih jatuh 5,63%.
Target Harga Saham
Sementara itu, Indo Premier mempertahankan estimasi NP (laba bersih) ADRO untuk saat ini dan mempertahankan rating Buy dengan TP berbasis SOTP Rp 2.400/saham, untuk mencerminkan penghapusan saham treasuri.
“Kami menilai, real value (harga wajar) ADRO belum sepenuhnya tercermin pada harga saham saat ini (TP IPS tidak termasuk bisnis hijau: Rp 1.800/saham), dengan risiko eksekusi yang relatif lebih rendah mengingat rekam jejak perusahaan yang kuat. Risiko utama termasuk harga kokas lebih rendah dari perkiraan akibat lemahnya pertumbuhan ekonomi China, keterlambatan eksekusi proyek, serta potensi pembengkakan capex,” pungkas Indo Premier.
Adapun Alamtri Resources Indonesia (ADRO) membukukan laba bersih (NP) 1H25 sebesar US$ 175 juta (-90% yoy) yang sejalan dengan perkiraan Indo Premier Sekuritas, namun di bawah estimasi konsensus FY25F masing-masing 50%/38%.
“Kami menilai ketidaksesuaian NP vs konsensus, terutama disebabkan ASP kokas yang lebih rendah dari perkiraan, tercermin dari pendapatan yang baru mencapai 44% konsensus, meski volume penjualan tetap sejalan dengan panduan FY25F (48%),” beber riset Indo Premier yang disusun Reggie Parengkuan dan Ryan Winipta. Editor: Theresa Sandra Desfika