Anggapan dirty nickel atau nikel kotor masih menjadi tantangan dalam hilirisasi nikel Indonesia yang berawal dari kekhawatiran terhadap dampak lingkungan operasi industri, mulai dari penambangan hingga pengolahan.
Untuk menjawab hal tersebut para pemangku kepentingan industri harus mendorong perbaikan tata kelola dengan menerapkan prinsip pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth), yang mencakup praktik penambangan yang baik (good mining practice) serta secara konsisten melahirkan inovasi dalam pengelolaan limbah.
Irwandy Arif, Chairman Indonesia Mining Institute (IMI), menilai good mining practice merupakan langkah kunci dalam menjawab isu lingkungan yang kerap disematkan pada praktik tambang di tanah air. Menurutnya, ada tiga tahap good mining practice yang saling berkaitan. “Untuk disebut menerapkan good mining, pelaku usaha harus memastikan seluruh tahapan berjalan tanpa mengabaikan penyelidikan umum, studi kelayakan, hingga proses pemulihan pascatambang,” ujar Irwandy dalam diskusi Hilirisasi Nikel: Menyeimbangkan Pertumbuhan Ekonomi dan Keberlanjutan Industri, Kamis (20/11).
Seluruh tahapan tersebut kata dia wajib mempertimbangkan aspek lingkungan hidup, keselamatan kerja, konservasi sumber daya, hingga program Corporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan tambang juga harus dilandasi kepatuhan hukum dan keterbukaan informasi kepada publik.
“Sepertinya perusahaan menengah ke atas sebagian besar sudah menerapkan. Tetapi harus dipertanyakan pertambangan menengah ke bawah atau yang kecil,” ungkap Irwandy.
Tidak hanya sekadar good mining, upaya menghapus stigma dirty nickel perlu diperkuat dengan implementasi prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG). Penerapan ESG tidak hanya mendorong pembangunan berkelanjutan, tetapi juga menjadi daya tarik utama bagi investor global. “ESG ini satu-satunya senjata kita supaya diterima di [pasar] Eropa atau Amerika,” tegas Irwandy.
Di tengah tren transisi energi, sektor nikel juga didorong untuk mengadopsi teknologi bersih dan berkelanjutan. Irwandy mendesak perusahaan tambang untuk mulai memanfaatkan alat tambang rendah emisi, seperti penggunaan bahan bakar nabati (BBN) untuk alat berat. “Penggunaan electric vehicle juga disebut bisa mengurangi biaya operasional tambang, bahkan bisa sampai 30%,” jelas Irwandy.
Pengelolaan Limbah
Irwan Iskandar, Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) memaparkan salah satu isu lingkungan paling krusial dalam pengolahan nikel adalah pengelolaan sisa hasil pengolahan dan pemurnian (SHPP) atau tailing. Tantangannya terletak pada volume limbah yang besar, meski dari sisi risiko dan bahaya lingkungan lebih kecil dibandingkan komoditas lain.
Irwan menceritakan kisah sukses Harita Nickel sebagai salah satu milestone dalam mengelola limbah ini. Teknologi terbaru memungkinkan pengolahan lumpur tailing, yang dikategorikan sebagai Limbah B3, menjadi tailing kering dengan kadar air kurang dari 30% menggunakan fasilitas filter press. “Ini investasi bagi perusahaan. Berarti ada biaya kapital dan OpEx yang memang harus di-consider, tapi demi pengelolaan lingkungan, itu juga peluang,” jelas Irwan.
Tailing kering menawarkan sejumlah keunggulan, seperti perlindungan lingkungan laut karena tidak dibuang ke perairan, aspek keselamatan yang lebih baik, dan kemudahan pengelolaan. Irwan memaparkan dua metode penempatannya: landfill dan backfill.
Metode landfill memerlukan pembukaan lahan baru dengan masa pemantauan lebih dari 25 tahun. Sementara backfill tidak membutuhkan lahan baru karena memanfaatkan kembali lubang bekas tambang, dengan periode pemantauan hanya sekitar enam tahun.
“Backfill juga mengurangi dampak pada sumber daya lain dan memiliki potensi transformasi tailing nikel menjadi cadangan komoditas di masa depan,” ujarnya.
Tailing kering di Harita dimanfaatkan untuk menutup kembali lubang bekas tambang melalui fasilitas Dry Stack Tailing Facility (DSTF) seluas 194,2 hektare. Fasilitas ini mampu menampung 49 juta ton tailing. Material yang telah diproses tidak lagi mengandung zat kimia berbahaya dan perusahaan bahkan tengah mengkaji pemanfaatan lain untuk tailing ini.
Namun, penerapan teknologi ini membutuhkan biaya tinggi. Pemerintah didorong untuk menyiapkan skema insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pengelolaan limbah yang inovatif dan berkelanjutan.
