Trump Mundur dari Paris Agreement, Bahlil Bicara Nasib EBT

MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku heran kepada keputusan Pemerintahan Donald Trump yang menarik diri dari Perjanjian Paris (Paris Agreement). Padahal Amerika Serikat (AS) merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian tersebut.

“Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri. Nah, negara yang memikirkan [perjanjian] ini saja mundur, masa kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?” ujar Bahlil dalam kegiatan Berita Satu Outlook 2025, Kamis (30/1/2025).

Bahlil mengungkapkan dampak penarikan AS dari Paris Agreement ini adalah masa depan energi baru terbarukan (EBT) menghadapi ketidakpastian. Ia pun berjanji akan mengkaji ulang masa depan EBT yang digarap Indonesia sebab pendanaan EBT bisa terancam.

“Amerika sudah mulai mundur dari itu setelah mengkaji ulang. Tapi oke, kita kan bagian daripada konsensus global yang harus kita jalani,” ucap Bahlil. 

Proyeksi perubahan iklim dari para ilmuwan./dok. Bloomberg

“Jadi jangan sampai kita ini menari di gendang orang pada saat dia pukul gendang bunyinya jalan, menari jalan, yang pukul gendang dia lari dia bikin gendang baru lagi ini yang bodoh siapa, yang pintar siapa kan kira-kira.”

Informasi saja, Paris Agreement adalah traktat internasional tentang mitigasi adaptasi dan keuangan perubahan iklim yang disepakati pada 2015. Perjanjian ini mengawal tentang mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca untuk mengatasi pemanasan global. Banyak program ini untuk negara berkembang dibiayai oleh negara maju.

AS resmi masuk Paris Agreement pada 2016 ketika dipimpin oleh Presiden Barack Obama. Namun pada November 2020, Trump menarik mundur AS dari perjanjian ini. Pada 2021, Joe Biden membawa AS kembali bergabung dengan perjanjian ini. Kini, pada masa kepemimpinan kedua Trump, AS keluar dari Paris Agreement.

Keputusan AS ini dikonfirmasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (28/1/2025). “AS telah memberi tahu Sekretaris Jenderal (Antonio Guterres), dalam kapasitasnya sebagai penyimpan dokumen perjanjian, tentang pengunduran dirinya dari Perjanjian Paris pada 27 Januari tahun ini,” ujar juru bicara PBB, Stephane Dujarric dalam konferensi pers.

Berdampak Pada Pembiayaan

Dana yang dibutuhkan untuk energi terbarukan (Bloomberg)

Kalangan ekonom berpandangan kebijakan mundurnya AS dari Paris Agreement akan berdampak pada pembiayaan iklim negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah Indonesia pun disarankan untuk mulai memerhatikan sektor lain yang memiliki daya tawar tinggi bagi AS.

“Paris  Agreement ini bukan pertama kalinya, Trump pernah keluar dari Paris Agreement, pas dia menjabat pada era Trump 1.0 hal tersebut juga terjadi. Paris Agreement tetap berjalan walaupun dengan konsekuensi bahwa climate financing akan menjadi lebih sulit,” kata Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dandy Rafitrandi dalam media briefing, dikutip Rabu (22/1/2025).

Dandy menyebut keluarnya AS dari Paris Agreement juga akan berdampak pada komitmen sejumlah negara maju dalam menyalurkan pendanaan atau pembiayaan iklim terhadap negara berkembang.

Adapun, pendanaan negara berkembang seperti Indonesia sangat terbatas untuk membiayai proyek-proyek transisi energi dan  isu lingkungan ke depannya.

“Kalau biasanya AS kita lihat sebagai leader misalnya G-7 dan lain-lain, apabila tidak ada keinginan terkait dengan climate financing, kemungkinan akan akan luntur juga,” ujar Dandy. (mfd/roy)

Sumber: bloombergtechnoz.com, 30 Januari 2025

 

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top