WAKIL Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti Widya Putri mengungkapkan kemenangan pemerintah pada sengketa terkait diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) turut memberikan angin segar. Hal ini membawa kepercayaan hal yang sama akan diraih Indonesia pada proses litigasi atau banding terhadap keputusan WTO mengenai nikel.
Dia menilai, pemerintah memiliki alibi kuat tentang kebijakan dalam negeri hingga pembentukan satuan tugas (Satgas) Hilirisasi khususnya dalam komoditas mineral.
“Tapi secara keseluruhan tentu kita apresiasi dengan kemenangan [WTO soal biodiesel] kita sebagai suatu hal pendobrak juga,” kata Roro di Kementerian ESDM, Jumat (17/1/2025).
Selain itu, menurut dia, Indonesia telah memiliki tim negosiator yang andal dalam sengketa proses litigasi nikel tersebut. Dia mengklaim pemerintah sebenarnya siap dengan segala potensi putusan dalam sengketa nikel.
“Kalau itu kita nanti lihat berprosesnya aja kali ya jadi kita lihat prosesnya seperti apa yang jelas kita punya tim negosiator yang ada di WTO. Harapannya apapun keputusannya kita bisa selalu mencari dan mendapatkan jalan keluarnya,” tutur Roro.
Sekadar catatan, pada 14 Januari 2021 Indonesia digugat oleh Uni Eropa (UE) lantaran melarang ekspor bijih nikel. Pada 17 Oktober 2022, WTO menyatakan pelarangan ekspor tersebut terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.
Sejalan dengan itu, Indonesia dan Uni Eropa (UE) juga berupaya untuk mencari amicable solution.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia berhasil membuktikan diskriminasi oleh Uni Eropa (UE) dalam sengketa dagang kelapa sawit di WTO. Hal ini tertuang dalam Laporan Hasil Putusan Panel WTO yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025.
Secara umum, Panel WTO menyatakan, Uni Eropa melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari Uni Eropa seperti rapeseed dan bunga matahari. Uni Eropa juga membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.
Selain itu, Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk) serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II. Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO. (mfd/frg)
Sumber: bloombergtechnoz.com, 18 Januari 2025