Usulan Naik Tarif Royalti Minerba: Siapa Untung dan Buntung

RENCANA pemerintah untuk mengubah struktur tarif royalti mineral dan batu bara atau minerba sepertinya akan memberi dampak positif maupun negatif bagi sejumlah emiten. Pemerintah merencanakan pengubahan struktur tersebut dalam upaya meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta penyesuaian kebijakan fiskal terhadap dinamika industri pertambangan.

Dalam konsultasi publik yang digelar oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 8 Maret 2025, pemerintah mengusulkan kenaikan tarif royalti bagi sejumlah komoditas mineral, termasuk nikel, tembaga, dan emas. 

Sementara itu, tarif royalti batu bara juga mengalami penyesuaian berdasarkan jenis kontrak dan nilai Harga Batubara Acuan (HBA).

Berdasarkan rancangan yang diajukan, tarif royalti untuk perusahaan dengan izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) akan mengalami peningkatan sebesar 1 persen untuk batu bara dengan kalori di bawah 4.200 dan antara 4.200–5.200 jika HBA mencapai atau melebihi USD90 per ton. 

Sementara itu, penerimaan hasil tambang (PHT) bagi kontrak PKP2B dengan karakteristik yang sama justru mengalami penurunan sebesar 1 persen. Untuk perusahaan dengan izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang merupakan perpanjangan dari PKP2B, pemerintah berencana mengubah rentang tarif royalti sekaligus menyesuaikan tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh) dari 22 persen agar selaras dengan regulasi perpajakan yang berlaku.

Siapa Untung, Siapa Buntung

Menurut Investment Analyst Stocbit Hendriko Gani, dampak dari kebijakan ini berpotensi signifikan bagi para pelaku industri. Emiten batu bara dengan izin IUP seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan dengan kontrak PKP2B seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) diperkirakan akan menghadapi tekanan terhadap profitabilitas mereka akibat kenaikan tarif royalti. 

Hal serupa juga berlaku bagi emiten pertambangan mineral seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), dan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) yang harus menghadapi lonjakan biaya akibat peningkatan royalti pada komoditas logam dasar.

Jika melihat pergerakan saham sejumlah emiten tambang pada perdagangan Senin, 10 Maret 2025, tampak cenderung melemah.

PT Bukit Asam Tbk (PTBA) ditutup melemah 1,18 persen ke level Rp2.520 dengan volume transaksi mencapai 6,14 juta lembar saham, lebih rendah dibandingkan rata-rata volume harian sebesar 8,98 juta. Pelemahan PTBA mencerminkan kekhawatiran investor terhadap potensi kenaikan beban royalti bagi emiten batu bara berstatus IUP.

Sementara itu, saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) juga tertekan dengan penurunan 1,58 persen ke level Rp23.325. Volume perdagangan ITMG tercatat 660.900 lembar saham, lebih rendah dari rata-rata harian 804.688. Sebagai pemegang kontrak PKP2B, kenaikan royalti diperkirakan akan berdampak langsung pada margin keuntungan perusahaan.

Di sisi tambang nikel dan logam, saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengalami tekanan paling signifikan, anjlok 8,71 persen ke level Rp2.830. Volume perdagangan mencapai 24 juta lembar, jauh di atas rata-rata harian 7,47 juta. Sentimen negatif terhadap kenaikan royalti bijih tembaga dari 5 persen menjadi 15 persen berkontribusi pada aksi jual besar-besaran saham INCO.

PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) juga tidak luput dari aksi jual, melemah 5,59 persen ke Rp675 dengan volume 18,05 juta lembar saham, lebih tinggi dari rata-rata 14,09 juta. Penurunan ini mencerminkan reaksi investor terhadap rencana kenaikan royalti feronikel dari 2 persen menjadi 5 persen.

Emiten tambang emas dan nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) turun 7,06 persen ke Rp1.515 dengan volume perdagangan 69,32 juta, lebih tinggi dari rata-rata harian 51 juta. Kebijakan kenaikan royalti emas dan feronikel berpotensi menekan kinerja ANTM dalam jangka panjang.

Sementara itu, saham PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) juga mengalami koreksi sebesar 1,91 persen ke Rp6.425 dengan volume perdagangan 11,13 juta, di bawah rata-rata harian 16,11 juta. Meskipun harga tembaga global masih bertahan di kisaran USD9.362/ton, kenaikan royalti yang signifikan dapat mengurangi margin keuntungan perusahaan.

Secara khusus, bijih tembaga dan feronikel menjadi dua komoditas yang mengalami kenaikan royalti paling tinggi. Dengan harga tembaga saat ini yang mencapai US$9.362 per ton, tarif royalti bijih tembaga melonjak tiga kali lipat dari 5 persen menjadi 15 persen. 

Sementara itu, royalti feronikel meningkat sebesar 150 persen, dari 2 persen menjadi 5 persen. Kenaikan ini akan berdampak langsung pada margin keuntungan produsen tembaga dan nikel, memaksa mereka untuk menyesuaikan strategi operasional dan efisiensi biaya guna mempertahankan daya saing.

Namun, tidak semua pelaku industri terdampak negatif. Emiten batu bara dengan kontrak IUPK, seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Adaro Andalan Indonesia (AADI), justru berpotensi diuntungkan dari penyesuaian kebijakan ini. 

Jika mengutip kembali data Stockbit pada hari ini, ketiga emiten memang menunjukkan performa ciamik. PT Bumi Resources Tbk (BUMI) mencatat lonjakan harga saham sebesar 8,51 persen ke level 102 per lembar saham. 

Saham ini diperdagangkan dengan volume mencapai 1,11 miliar lembar, jauh di atas rata-rata volume hariannya sebesar 771,92 juta lembar. Kenaikan ini mengindikasikan adanya minat beli yang tinggi dari investor, didorong oleh optimisme terhadap stabilitas harga batu bara dan potensi keuntungan dari kontrak IUPK yang memungkinkan fleksibilitas dalam pembayaran royalti.

Sementara itu, PT Indika Energy Tbk (INDY) juga mencatat kenaikan harga saham sebesar 4,81 persen ke level 1.415 per lembar. Volume perdagangan saham ini mencapai 15,27 juta lembar, sedikit di atas rata-rata volume hariannya sebesar 14,1 juta lembar. Performa positif ini mencerminkan optimisme pasar terhadap prospek bisnis energi terbarukan yang tengah dikembangkan oleh perusahaan.

PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) juga mengalami kenaikan harga saham sebesar 3,09 persen ke level 6.675 per lembar. Volume perdagangan mencapai 17,81 juta lembar, meskipun masih di bawah rata-rata volume hariannya yang mencapai 22,52 juta lembar. Saham AADI cenderung menarik perhatian investor karena posisi strategisnya dalam industri batu bara serta diversifikasi usaha yang semakin berkembang.

Dengan HBA yang masih berada di level USD128 per ton pada Maret 2025, rentang tarif royalti yang disesuaikan dapat memberikan fleksibilitas lebih dalam operasional mereka. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan ini mungkin dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerja keuangan mereka dalam jangka menengah hingga panjang.

Kebijakan penyesuaian tarif royalti minerba ini menjadi langkah strategis pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus menjaga keberlanjutan sektor pertambangan nasional. Meskipun berpotensi memberikan tekanan pada sejumlah emiten, langkah ini juga dapat menjadi pemicu efisiensi dan inovasi di industri pertambangan. 

Para pelaku usaha kini perlu mengantisipasi perubahan ini dengan menyesuaikan strategi bisnis, baik melalui efisiensi operasional, diversifikasi pasar, maupun optimalisasi rantai pasok untuk tetap kompetitif di tengah regulasi yang terus berkembang.

Sumber: kabarbursa.com, 10 Maret 2025

Temukan Informasi Terkini

Laba Sepanjang 2024 Naik 46%, Ini Daftar Program Prioritas MIND ID Sepanjang 2025

baca selengkapnya

Selangkah Lagi UKM Dapat Jatah Tambang, Siapa yang Layak?

baca selengkapnya

PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi di Raja Ampat Meski Tidak Dicabut Izinnya

baca selengkapnya

Bersama, Kita Majukan Industri Pertambangan!

Jadilah anggota IMA dan nikmati berbagai manfaat, mulai dari seminar, diskusi strategis, hingga kolaborasi industri.

Scroll to Top