Pemerintah membuka kemungkinan untuk menaikkan porsi kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) lebih dari 25% dari total produksi pada 2026. Kebijakan ini dinilai perlu dikaji secara komprehensif dan proporsional, termasuk mengenai harga patokan DMO, guna memastikan keadilan untuk semua perusahaan tambang.
Belakangan wacana kenaikan porsi DMO batu bara mencuat seiring rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memangkas produksi batu bara pada tahun depan. Hal ini tak lepas dari harga emas hitam global yang lesu imbas ketidakseimbangan kebutuhan pasar dengan suplai batu bara dari Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga batu bara anjlok 21,57% year-on-year (yoy) ke level US$110,46 per metrik ton pada kuartal III/2025. Pertumbuhan industri pertambangan batu bara dan lignit pada kuartal III/2025 juga mengalami kontraksi cukup dalam sebesar -7,29%.
Pada tahun lalu, produksi batu bara Indonesia tercatat mencapai 836 juta ton. Jumlah produksi tersebut mencapai 117% dari target yang ditetapkan pada 2024, yakni sebesar 710 juta ton. Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari total produksi 836 juta ton, sebanyak 555 juta ton diekspor, sementara sebanyak 233 juta ton disalurkan ke kebutuhan domestik alias DMO dan 48 juta ton untuk stok batu bara domestik.
Sementara itu, pada 2025, produksi batu bara nasional ditargetkan mencapai 739,67 juta ton. Kementerian ESDM memproyeksikan realisasi hingga akhir tahun ini masih melebihi target.
“Realisasi untuk tahun ini, sampai akhir tahun [2025] diperkirakan sekitar 750-an ton,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno ketika ditemui setelah rapat dengar pendapat bersama Komisi XII DPR RI di Jakarta, Kamis, (13/11/2025), dikutip dari Antara.
Melihat kondisi pasar global yang masih lesu, Kementerian ESDM pun mempertimbangkan untuk mengurangi produksi batu bara pada tahun depan. Tri membuka kemungkinan produksi batu bara pada 2026 berada di bawah 700 ton. Namun, dirinya belum menentukan berapa besar angka pasti Kementerian ESDM akan mengurangi produksi batu bara.
“Nanti itu yang ditahan produksinya. Jadi penurunan produksi, karena harga [batu bara] kan ‘jebol’,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga menekankan rencana pemerintah untuk memangkas produksi batu bara sembari mempertimbangkan opsi menaikkan porsi DMO. Bahlil memastikan kebutuhan di dalam negeri akan diutamakan ketika produksi batu bara dipangkas.
Apabila dibutuhkan, Bahlil membuka kemungkinan menaikkan persentase DMO menjadi lebih dari 25% untuk industri prioritas yang membutuhkan batu bara, dengan harga DMO yang sama, yakni US$70 per metrik ton untuk kelistrikan.
“Kalau masih kurang [untuk kebutuhan dalam negeri], kami akan naikkan DMO,” tutur Bahlil.
Sebelumnya, opsi menaikkan porsi DMO juga sempat disampaikan Bahlil saat merespons laporan dari Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi Gerindra Ramson Siagian yang menyebut bahwa ada sejumlah perusahaan tambang batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO 25%.
“Ke depan kita mau revisi RKAB, DMO-nya mungkin bukan hanya 25%, bisa lebih dari itu. Kepentingan negara di atas segala-galanya,” ujar Bahlil dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XII DPR RI, Selasa (11/11/2025).
Keresahan soal Patokan Harga DMO
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani berpendapat, wacana mengerek porsi DMO harus diiringi dengan kepastian pasar dalam negeri.
Menurutnya, volume DMO yang dialokasikan harus benar-benar terserap oleh sektor-sektor pengguna dalam negeri.
“Jika penyerapan tidak optimal, maka potensi surplus di pasar bisa menjadi tantangan bagi pelaku usaha, terutama dalam menjaga keseimbangan produksi dan kontrak penjualan,” kata Gita kepada Bisnis, dikutip Senin (17/11/2025).
Di sisi lain, dia menuturkan bahwa harga DMO untuk kelistrikan dipatok sebesar US$70 per ton dan untuk industri semen dan pupuk sebesar US$90 per ton. Dengan harga tersebut, implikasi keekonomian bagi pelaku usaha perlu diperhitungkan secara hati-hati. Apalagi, dengan terus bertambahnya biaya produksi.
Terkait wacana pemangkasan volume produksi demi menjaga harga batu bara, Gita berharap kebijakan tersebut mempertimbangkan kondisi operasional penambang.
Dia menuturkan, harga batu bara sendiri sangat fluktuatif dan lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika global seperti permintaan negara-negara importir, kebijakan energi, hingga kondisi geopolitik.
“Sehingga dampak kebijakan domestik terhadap harga internasional relatif terbatas,” katanya.
Kenaikan Porsi DMO Proporsional
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy menilai upaya menaikkan porsi DMO perlu dilakukan secara proporsional. Ini guna memastikan keadilan untuk semua perusahaan tambang batu bara yang ada.
Di sisi lain, dia juga mengingatkan agar pemerintah menaikkan harga DMO. Apalagi, harga DMO masih sama sejak 2018 lalu.
Padahal, biaya operasional tambang sudah naik. Menurutnya, membengkaknya biaya operasional tambang terjadi seiring dengan kenaikan tingkat stripping ratio hingga biaya bahan bakar imbas penggunaan biodiesel B40.
“Jadi sebaiknya pemerintah juga harus melakukan evaluasi secara komprehensif dengan melihat semua faktor agar jangan sampai kebijakan memperbesar porsi DMO tanpa mengevaluasi harga malah akan mematikan sektor tambang batu bara itu sendiri,” ucap Sudirman.
Di satu sisi, dia mengatakan bahwa rencana pemerintah untuk membatasi produksi batu bara pada 2026 sebagai upaya untuk meningkatkan harga, perlu didukung. Sudirman menjelaskan, harga batu bara yang melemah dalam beberapa tahun terakhir membuat sektor industri pertambangan menjadi tidak terlalu bergairah.
“Upaya menekan volume produksi diharapkan bisa membantu upaya untuk mengerek kembali harga batu bara ke tingkat yang lebih baik sehingga sektor industri tambang batu bara dapat kembali bergairah,” tuturnya Ketua Indonesian Mining Institute Irwandi Arif mengingatkan wacana pemangkasan produksi batu bara dan menaikkan porsi DMO harus dilakukan dengan perhitungan matang.
Menurutnya, upaya itu cukup positif jika tujuannya menjaga harga. Namun, dia menilai bahwa harga batu bara tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor saja. Menurutnya, harga emas hitam sangat tergantung supply demand di dunia.
“Jadi kebijakan yang dimaksud hanya satu dua faktor dari banyak faktor untuk perkembangan harga batu bara,” kata Irwandi. Hal ini khususnya bergantung pada konsumsi batu bara di China dan India, produksi negara-negara di dunia, dan perkembangan energi baru terbarukan. Editor : Denis Riantiza Meilanova
